STRATEGI PEMBELAJARAN AFEKTIF (
NILAI SIKAP )
PENDAHULUAN
Pembentukan
dan pengembangan sikap dan moral seorang siswa melalui pendidikan di sekolah
menjadi sangat penting, dasar untuk membentuk pribadi yang bernilai merupakan
kebutuhan jasmani selain kebutuhan akademis melalui ilmu pengetahuan. Namun
demikian, kondisi kurikulum yang sangat padat, serta kendala-kendala lain
menuntut proses pembelajaran pendidikan perlu dilakukan secara baik, mencapai
tujuan, dan dapat menanamkan nilai-nilai agama tersebut untuk kemudian dapat
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Sikap
(afektif) erat kaitannya dengan nilai yang dimiliki oleh seseorang, sikap
merupakan refleksi dari nilai yang dimiliki, oleh karenanya pendidikan sikap
pada dasarnya adalah pendidikan nilai.
Nilai adalah
suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia yang sifat – sifatnya
tersembunyi, tidak berada dalam dunia yang empiris. Nilai berhubungan dengan
pandangan seseorang tentang baik dan buruk, layak dan tidak, pandangan
seseorang tentang semua itu, tidak bisa dirubah. Kita mungkin hanya dapat
mengetahui dari prilaku yang bersangkutan oleh karena itu, nilai pada dasarnya
adalah standar perilaku sesorang. Dengan demikian, pendidikan nilai pada
dasarnya proses penanaman perilaku kepada peserta didik yang diharapkan kepada
siswa dapat berperilaku sesuai dengan pendangan yang di anggap baik dan tidak
bertentangan dengan norma – norma yang berlaku.
Strategi
pembelajaran afektif adalah strategi yang bukan hanya bertujuan untuk mencapai
pendidikan kognitif saja, akan tetapi juga bertujuan untuk mencapai dimensi
yang lainnya. Yaitu sikap dan keterampilan afektif berhubungan dengan volume
yang sulit diukur karena menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam,
afeksi juga dapat muncul dalam kejadian behavioral yang di akibat dari proses
pembelajaran yang dilakukan oleh guru.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Strategi Pembelajaran Afektif
Strategi
pembelajaran afektif adalah strategi yang bukan hanya bertujuan untuk mencapai
pendidikan kognitif saja, akan tetapi juga bertujuan untuk mencapai dimensi yang lainnya. Yaitu sikap dan
keterampilan afektif berhubungan dengan volume yang sulit diukur karena
menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam, afeksi juga dapat muncul
dalam kejadian behavioral yang di akibat dari proses pembelajaran yang
dilakukan oleh guru.
B. Hakikat Pendidikan Nilai dan Sikap
Sikap
(afektif) erat kaitannya dengan nilai yang dimiliki oleh seseorang, sikap
merupakan refleksi dari nilai yang dimiliki, oleh karenanya pendidikan sikap
pada dasarnya adalah pendidikan nilai.
Nilai, adalah
suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia yang sifat – sifatnya
tersembunyi, tidak berada dalam dunia yang empiris. Nilai berhubungan dengan
pandangan seseorang tentang baik dan buruk, layak dan tidak, pandangan
seseorang tentang semua itu, tidak bisa dirubah. Kita mungkin hanya dapat
mengetahui dari prilaku yang bersangkutan oleh karena itu, nilai pada dasarnya
adalah standar perilaku sesorang. Dengan demikian, pendidikan nilai pada dasarnya
proses penanaman perilaku kepada peserta didik yang diharapkan kepada siswa
dapat berperilaku sesuai dengan pendangan yang di anggap baik dan tidak
bertentangan dengan norma – norma yang berlaku.
Dougla Graham
(Golu 2003) menyatakan 4 faktor merupakan dasar kepatuhan seseorang terhadap
nilai – nilai tertentu :
ü
Normativist
: Kepatuhan yang terdapat pada norma – norma hokum.
ü
Integralist
: Kepatuhan yang di dasarkan pada kesadaran dan pertimbangan–pertimbangan yang
rasional.
ü
Fenomalist
: Kepatuhan berdasarkan suara hati atau sekedar basa – basi.
ü
Hedonist
: Kepatuhan berdasarkan diri sendiri.
Nilai bagi
seseorang tidaklah statis akan tetapi selalu berubah, setiap orang akan selalu
menganggap sesuatu itu baik sesuai dengan pandangannya pada saat itu. Oleh
sebab itu, system nilai yang dimiliki seseorang bisa di bina dan diarakhan.
Komitmen seseorang terhadap suatu nilai tertentu terjadi melalu pembentukan
sikap, yakni kecendrungan seseorang terhadap suatu objek, misalnya jika
seseorang berhadapan dengan sesuatu objek, dia akan menunjukkan gejala senang
atau tidak senang, suka atau tidak suka. Golu (2005) menyimpulkan tentang nilai
tersebut :
ü
Nilai
tidak bisa di ajarkan tetapi di ketahui dari penampilannya.
ü
Pengembangan dominan efektif pada nilai tidak
bisa di pisahkan dari aspek kognitif dan psikomotorik.
ü
Masalah nilai adalah masalah emosional dan
karena itu dapat berubah, berkembang, sehingga bisa di bina.
ü
Perkembangan nilai atau moral tidak akan terjadi
sekaligus, tetapi melalui tahap tertentu.
Sikap adalah
kecendrungan seseorang untuk menerima atau menolak suatu objek berdasarkan
nilai yang di anggap baik atau tidak baik. Dengan demikian, belajar sikap
berarti memperoleh kecendrungan untuk menerima atau menolak suatu objek
penilaian terhadap objek itu sebagai hal yang berguna atau berharga (sikap
positif) dan tidak berguna atau berharga (sikap negatif).
C. Proses Pembentukan Sikap
1. Pola Pembiasaan.
Dalam proses
pembelajaran di sekolah, baik secara disadari maupun tidak, guru dapat
menanamkan sikap tertentu kepada siswa melalui proses pembiasaan, misalnya
sikap siswa yang setiap kali menerima perilaku yang tidak menyenangkan dari
guru, satu contoh mengejek atau menyinggung perasaan anak. Maka lama kelamaan
akan timbul perasaa benci dari anak tersebut yang pada akhirnya dia juga akan
membenci pada guru dan mata pelajarannya.
2. Modeling.
Pembelajaran
sikap dapat juga dilakukan melalui proses modeling yaitu pembentukan sikap
melalui proses asimilasi atau proses pencontohan. Salah satu karakteristik anak
didik yang sadang berkembang adalah keinginan untuk malakukan peniruan
(imitasi). Hal yang di tiru itu adalah perilaku – perilaku yang di peragakan
atau di demonstrasikan oleh orang yang menjadi idamannya. Modeling adalah
proses peniruan anak terhadap orang lain yang menjadi idolanya atau orang yang
dihormatinya. Pemodelan biasanya di milai dari perasaan kagum.
D.
Model Strategi Pembelajaran Sikap
Di bawah ini
disajikan beberapa model strategi pembelajaran pembentukan sikap
1. Model Konsiderasi
Model konsiderasi
dikembangkan oleh MC.Paul, seorang humanis. Paul menganggap bahwa pembentukan
moral tidak sama dengan pengembangan kognisi yang rasional. Pembelajaran moral
siswa menurutnya adalah pembentukan pembentukan kepribadian bukan pengembangan
intelektual. Oleh sebab itu, model ini menekankan kepada strategi pembelajaran
yang dapat membentuk kepribadian. Tujuannya adalah agar siswa menjadi manusia
yang memiliki kepedulian terhadap orang lain.
Implementasi
model konsiderasi guru dapat mengikuti tahapan-tahapan pembelajaran seperti
berikut:
a.
Menghadapkan
siswa pada suatu masalah yang mengandung konflik, yang sering terjadi dalam
kehidupan sehari-hari. Ciptakan situasi ”Seandainya siswa ada dalam masalah
tersebut“
b.
Menyuruh
siswa untuk menganalisis sesuatu masalah dengan melihat bukan hanya yang
tampak, tapi juga yang tersirat dalam permasalahan tersebut, misalnya perasaan,
kebutuhan, dan kepentingan orang lain.
c.
Menyuruh
siswa untuk menuliskan tanggapannya terhadap permasalahan yang dihadapi. Hal
ini dimaksudkan agar siswa dapat menelaah perasaannya sendiri sebelum mendengar
respons orang lain untuk dibandingkan.
d.
Mengajak
siswa untuk menganalisis respons orang lain serta membuat kategori dari setiap
respons yang diberikan siswa.
e.
Mendorong
siswa untuk merumuskan akibat atau konsekuensi dari setiap tindakan yang
diusulkan siswa. Dalam tahapan ini siswa diajak berpikir tentang segala
kemungkinan yang akan timbul sehubungan dengan tindakannya.
f.
Mengajak
siswa untuk memandang permasalahan dari berbagai sudut pandang untuk menambah
wawasan agar mereka dapat menimbang sikap tertentu sesuai dengan nilai yang
dimilikinya.
g.
Mendorong
siswa agar merumuskan sendiri tindakan yang harus dilakukan sesuai dengan
pilihannya berdasarkan pertimbangannya sendiri.
2. Model Pengembangan Kognitif
Model pengembangan
kognisi dikembangkan oleh Lawrence Kohlberg. Model ini banyak diilhami oleh
pemikiran John Dewey yang berpendapat bahwa perkembangan manusia terjadi
sebagai proses dari restrukturisasi kognitif yang berlangsung secara
berangsur-angsur menurut urutan tertentu.Menurut Kolhberg,moral manusia itu
berkembang melalui 3 tingkat, dan setiap tingkat terdiri dari 2 tahap.
a. Tingkat
Prakonvensional
Pada tingkat
ini setiap individu memandang moral berdasarkan kepentingannya sendiri, artinya
pertimbangan moral didasarkan pada pandangan secara individual tanpa
menghiraukan rumusan dan aturan yang dibuat oleh masyarakat,terdiri dari 2
tahap yaitu :
1) Orientasi hukuman dan kepatuhan
Artinya anak hanya berpikir bahwa perilaku yang benar itu adalah perilaku yang tidak akan mengakibatkan hukuman,dengan demikian setiap peraturan harus dipatuhi agar tidak menimbulkan konsekuensi negative.
Artinya anak hanya berpikir bahwa perilaku yang benar itu adalah perilaku yang tidak akan mengakibatkan hukuman,dengan demikian setiap peraturan harus dipatuhi agar tidak menimbulkan konsekuensi negative.
2) Orientasi instrumental relative
Pada tahap
ini perilaku anak didasarka pada perilaku adil,berdasarkan aturan permainan
yang telah disepakati.
b. Tahap
Konvensional
Pada tahap
konvensional meliputi 2 tahap, yaitu :
1) Keselarasan interpersonal
Pada tahap
ini ditandai dengan perilaku yang ditampilkan individu didorong oleh keinginan
untuk memenuhi harapan orang lain.
2) Sistem sosial dan kata hati
Pada tahap
ini perilaku individu bukan didasarkan pada dorongan untuk memenuhi harapan
orang lain yang dihormatinya.
c. Tingkat Postkonvensional
Pada tingkat
ini perilaku bukan hanya didasarkan pada kepatuhan terhadap norma-norma
masyarakat yang berlaku, akan tetapi didasari oleh adanya kesadaran sesuai
dengan nilai-nilai yang dimiliki secara individu. Pada tahap ini ada 2 bagian
yaitu :
1) Kontra sosial
Pada tahap
ini perilaku individu didasarkan pada kebenaran-kebenaran yang diakui oleh
masyarakat.
2) Prinsip
etis yang universal
Pada tahap ini perilaku manusia didasarkan pada
prinsip-prinsip universal.
E.
Kesulitan dalam Pembelajaran Afektif
Pertama, selama ini proses pendidikan sesuai dengan
kurikulum yang berlaku cenderung diarahkan untuk pembentukan intelektual.dengan
demikian keberhasilan proses pendidikan dan proses pembelajaran di sekolah
ditentukan oleh criteria kemampuan intelektual.
Kedua, sulitnya melakukan control karena banyaknya
factor yang dapat mempengaruhi perkembangan sikap seseorang.
Ketiga,keberhasilan
pembentukan sikap tidak bisa dievaluasi dengan segera. Berbeda dengan
keberhasilan pembentukan kognisi dan aspek ketrampilan yang hasilnya dapat
diketahui setelah proses pembelajaran berakhir.
Keempat,pengaruh
kemajuan teknologi,khususnya teknologi informasi yang menyuguhkan aneka pilihan
program acara,berdampak pada pembentukan karakter anak.
Keberhasilan
pembentukan sikap tidak bisa di evaluasi dengan segera. Berdeda dengan aspek
kognitif dan aspek keterampilan yang hasilnya dapat diketahui setelah proses
pembelajaran berakhir, keberhasilan dari pembentukan sikap dapat dilihat pada
rentang waktu yang cukup panjang. Hal ini disebabkan sikap berhubungan dengan
internalisasi nilai yang memerlukan proses lama.
Pengaruh
kemajuan teknologi, berdampak pada pembentukan karakter anak, tidak bisa di
pungkiri program-program TV yang menayangkan acara produksi luar negri yang
memiliki latar belakang budaya yang berbeda, maka dari itu perlahan tapi pasti
budaya asing yang belum cocok dengan budaya local menerobos dalam setiap ruang
kehidupan.
PENUTUP
Kesimpulan
Banyak yang
beranggapan bahwa pembelajaran afektif bukan untuk diajarkan, seperti pelajaran
Biologi, Fisika ataupun Matematika. Pembelajaran afektif merupakan pembelajaran
bagaimana sikap itu terbentuk setelah siswa memperoleh pembelajaran, oleh
karena itu yang pas untuk afektif bukanlah pengajaran melainkan pendidikan.
Afektif berhubungan sekali dengan nilai (Value) yang sulit diukur karena
menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam. Dalam batas tertentu
afektif dapat muncul dalam
kejadian Behavioral, akan tetapi penilaian untuk sampai pada kesimpulan yang
dapat di pertanggungjawabkan membutuhkan ketelitian dan observasi yang terus
menerus dan hal ini tidak mudah dilakukan, dalam proses pembelajaran di
sekolah, baik secara disadari maupun tidak guru dapat menanamkan sikap tertentu
kepada siswa melalui proses pembiasaan.
Yang termasuk
kemampuan afektif adalah sebagai berikut :
a.
Menerima
(Receiving) yaitu : kesediaan untuk memperhatikan
b.
Menanggapi
(Responding), yaitu afektif berpartisipasi
c.
Menghargai
(Valuing), yaitu penghargaan kepada benda, gejala, perbuatan tertentu
d.
Membentuk
(Organization), yaitu : memadukan nilai yang berbeda
e.
Berpribadi
(Characterization by Value of value complex), yaitu : Mempunyai sistem nilai
yang mengendalikan perbuatan untuk menumbuhkan gaya hidup yang mantap
DAFTAR PUSTAKA
Joni T. Rakaa (1980) Strategi Belajar
Mengajar, Jakarta : P3G.
Wina Sanjaya (2008) Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses
Pendidikan, Jakarta : Kencana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar