Senin, 11 Juni 2012

Strategi Pembelajaran Afektif


STRATEGI PEMBELAJARAN AFEKTIF ( NILAI SIKAP )


PENDAHULUAN
Pembentukan dan pengembangan sikap dan moral seorang siswa melalui pendidikan di sekolah menjadi sangat penting, dasar untuk membentuk pribadi yang bernilai merupakan kebutuhan jasmani selain kebutuhan akademis melalui ilmu pengetahuan. Namun demikian, kondisi kurikulum yang sangat padat, serta kendala-kendala lain menuntut proses pembelajaran pendidikan perlu dilakukan secara baik, mencapai tujuan, dan dapat menanamkan nilai-nilai agama tersebut untuk kemudian dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Sikap (afektif) erat kaitannya dengan nilai yang dimiliki oleh seseorang, sikap merupakan refleksi dari nilai yang dimiliki, oleh karenanya pendidikan sikap pada dasarnya adalah pendidikan nilai.
Nilai adalah suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia yang sifat – sifatnya tersembunyi, tidak berada dalam dunia yang empiris. Nilai berhubungan dengan pandangan seseorang tentang baik dan buruk, layak dan tidak, pandangan seseorang tentang semua itu, tidak bisa dirubah. Kita mungkin hanya dapat mengetahui dari prilaku yang bersangkutan oleh karena itu, nilai pada dasarnya adalah standar perilaku sesorang. Dengan demikian, pendidikan nilai pada dasarnya proses penanaman perilaku kepada peserta didik yang diharapkan kepada siswa dapat berperilaku sesuai dengan pendangan yang di anggap baik dan tidak bertentangan dengan norma – norma yang berlaku.
Strategi pembelajaran afektif adalah strategi yang bukan hanya bertujuan untuk mencapai pendidikan kognitif saja, akan tetapi juga bertujuan untuk mencapai dimensi yang lainnya. Yaitu sikap dan keterampilan afektif berhubungan dengan volume yang sulit diukur karena menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam, afeksi juga dapat muncul dalam kejadian behavioral yang di akibat dari proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru.

 

 

 

 

PEMBAHASAN

A.  Pengertian Strategi Pembelajaran Afektif
Strategi pembelajaran afektif adalah strategi yang bukan hanya bertujuan untuk mencapai pendidikan kognitif saja, akan tetapi juga bertujuan untuk mencapai dimensi yang lainnya. Yaitu sikap dan keterampilan afektif berhubungan dengan volume yang sulit diukur karena menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam, afeksi juga dapat muncul dalam kejadian behavioral yang di akibat dari proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru.

B.  Hakikat Pendidikan Nilai dan Sikap
Sikap (afektif) erat kaitannya dengan nilai yang dimiliki oleh seseorang, sikap merupakan refleksi dari nilai yang dimiliki, oleh karenanya pendidikan sikap pada dasarnya adalah pendidikan nilai.
Nilai, adalah suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia yang sifat – sifatnya tersembunyi, tidak berada dalam dunia yang empiris. Nilai berhubungan dengan pandangan seseorang tentang baik dan buruk, layak dan tidak, pandangan seseorang tentang semua itu, tidak bisa dirubah. Kita mungkin hanya dapat mengetahui dari prilaku yang bersangkutan oleh karena itu, nilai pada dasarnya adalah standar perilaku sesorang. Dengan demikian, pendidikan nilai pada dasarnya proses penanaman perilaku kepada peserta didik yang diharapkan kepada siswa dapat berperilaku sesuai dengan pendangan yang di anggap baik dan tidak bertentangan dengan norma – norma yang berlaku.
Dougla Graham (Golu 2003) menyatakan 4 faktor merupakan dasar kepatuhan seseorang terhadap nilai – nilai tertentu :
ü      Normativist : Kepatuhan yang terdapat pada norma – norma hokum.
ü      Integralist : Kepatuhan yang di dasarkan pada kesadaran dan pertimbangan–pertimbangan yang rasional.
ü      Fenomalist : Kepatuhan berdasarkan suara hati atau sekedar basa – basi.
ü      Hedonist : Kepatuhan berdasarkan diri sendiri.
Nilai bagi seseorang tidaklah statis akan tetapi selalu berubah, setiap orang akan selalu menganggap sesuatu itu baik sesuai dengan pandangannya pada saat itu. Oleh sebab itu, system nilai yang dimiliki seseorang bisa di bina dan diarakhan. Komitmen seseorang terhadap suatu nilai tertentu terjadi melalu pembentukan sikap, yakni kecendrungan seseorang terhadap suatu objek, misalnya jika seseorang berhadapan dengan sesuatu objek, dia akan menunjukkan gejala senang atau tidak senang, suka atau tidak suka. Golu (2005) menyimpulkan tentang nilai tersebut :
ü      Nilai tidak bisa di ajarkan tetapi di ketahui dari penampilannya.
ü      Pengembangan dominan efektif pada nilai tidak bisa di pisahkan dari aspek kognitif dan psikomotorik.
ü      Masalah nilai adalah masalah emosional dan karena itu dapat berubah, berkembang, sehingga bisa di bina.
ü      Perkembangan nilai atau moral tidak akan terjadi sekaligus, tetapi melalui tahap tertentu.
Sikap adalah kecendrungan seseorang untuk menerima atau menolak suatu objek berdasarkan nilai yang di anggap baik atau tidak baik. Dengan demikian, belajar sikap berarti memperoleh kecendrungan untuk menerima atau menolak suatu objek penilaian terhadap objek itu sebagai hal yang berguna atau berharga (sikap positif) dan tidak berguna atau berharga (sikap negatif).

C.  Proses Pembentukan Sikap
1.   Pola Pembiasaan.
Dalam proses pembelajaran di sekolah, baik secara disadari maupun tidak, guru dapat menanamkan sikap tertentu kepada siswa melalui proses pembiasaan, misalnya sikap siswa yang setiap kali menerima perilaku yang tidak menyenangkan dari guru, satu contoh mengejek atau menyinggung perasaan anak. Maka lama kelamaan akan timbul perasaa benci dari anak tersebut yang pada akhirnya dia juga akan membenci pada guru dan mata pelajarannya.
2.   Modeling.
Pembelajaran sikap dapat juga dilakukan melalui proses modeling yaitu pembentukan sikap melalui proses asimilasi atau proses pencontohan. Salah satu karakteristik anak didik yang sadang berkembang adalah keinginan untuk malakukan peniruan (imitasi). Hal yang di tiru itu adalah perilaku – perilaku yang di peragakan atau di demonstrasikan oleh orang yang menjadi idamannya. Modeling adalah proses peniruan anak terhadap orang lain yang menjadi idolanya atau orang yang dihormatinya. Pemodelan biasanya di milai dari perasaan kagum.

D.    Model Strategi Pembelajaran Sikap
Di bawah ini disajikan beberapa model strategi pembelajaran pembentukan sikap
1.   Model Konsiderasi
Model konsiderasi dikembangkan oleh MC.Paul, seorang humanis. Paul menganggap bahwa pembentukan moral tidak sama dengan pengembangan kognisi yang rasional. Pembelajaran moral siswa menurutnya adalah pembentukan pembentukan kepribadian bukan pengembangan intelektual. Oleh sebab itu, model ini menekankan kepada strategi pembelajaran yang dapat membentuk kepribadian. Tujuannya adalah agar siswa menjadi manusia yang memiliki kepedulian terhadap orang lain.
Implementasi model konsiderasi guru dapat mengikuti tahapan-tahapan pembelajaran seperti berikut:
a.       Menghadapkan siswa pada suatu masalah yang mengandung konflik, yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Ciptakan situasi ”Seandainya siswa ada dalam masalah tersebut“
b.      Menyuruh siswa untuk menganalisis sesuatu masalah dengan melihat bukan hanya yang tampak, tapi juga yang tersirat dalam permasalahan tersebut, misalnya perasaan, kebutuhan, dan kepentingan orang lain.
c.       Menyuruh siswa untuk menuliskan tanggapannya terhadap permasalahan yang dihadapi. Hal ini dimaksudkan agar siswa dapat menelaah perasaannya sendiri sebelum mendengar respons orang lain untuk dibandingkan.
d.      Mengajak siswa untuk menganalisis respons orang lain serta membuat kategori dari setiap respons yang diberikan siswa.
e.       Mendorong siswa untuk merumuskan akibat atau konsekuensi dari setiap tindakan yang diusulkan siswa. Dalam tahapan ini siswa diajak berpikir tentang segala kemungkinan yang akan timbul sehubungan dengan tindakannya.
f.        Mengajak siswa untuk memandang permasalahan dari berbagai sudut pandang untuk menambah wawasan agar mereka dapat menimbang sikap tertentu sesuai dengan nilai yang dimilikinya.
g.       Mendorong siswa agar merumuskan sendiri tindakan yang harus dilakukan sesuai dengan pilihannya berdasarkan pertimbangannya sendiri.

2.   Model Pengembangan Kognitif
Model pengembangan kognisi dikembangkan oleh Lawrence Kohlberg. Model ini banyak diilhami oleh pemikiran John Dewey yang berpendapat bahwa perkembangan manusia terjadi sebagai proses dari restrukturisasi kognitif yang berlangsung secara berangsur-angsur menurut urutan tertentu.Menurut Kolhberg,moral manusia itu berkembang melalui 3 tingkat, dan setiap tingkat terdiri dari 2 tahap.
a.   Tingkat Prakonvensional
Pada tingkat ini setiap individu memandang moral berdasarkan kepentingannya sendiri, artinya pertimbangan moral didasarkan pada pandangan secara individual tanpa menghiraukan rumusan dan aturan yang dibuat oleh masyarakat,terdiri dari 2 tahap yaitu :
1)   Orientasi hukuman dan kepatuhan
Artinya anak hanya berpikir bahwa perilaku yang benar itu adalah perilaku yang tidak akan mengakibatkan hukuman,dengan demikian setiap peraturan harus dipatuhi agar tidak menimbulkan konsekuensi negative.
2)   Orientasi instrumental relative
Pada tahap ini perilaku anak didasarka pada perilaku adil,berdasarkan aturan permainan yang telah disepakati.
b.   Tahap Konvensional
Pada tahap konvensional meliputi 2 tahap, yaitu :
1)   Keselarasan interpersonal
Pada tahap ini ditandai dengan perilaku yang ditampilkan individu didorong oleh keinginan untuk memenuhi harapan orang lain.
2)   Sistem sosial dan kata hati
Pada tahap ini perilaku individu bukan didasarkan pada dorongan untuk memenuhi harapan orang lain yang dihormatinya.
c.    Tingkat Postkonvensional
Pada tingkat ini perilaku bukan hanya didasarkan pada kepatuhan terhadap norma-norma masyarakat yang berlaku, akan tetapi didasari oleh adanya kesadaran sesuai dengan nilai-nilai yang dimiliki secara individu. Pada tahap ini ada 2 bagian yaitu :


1)   Kontra sosial
Pada tahap ini perilaku individu didasarkan pada kebenaran-kebenaran yang diakui oleh masyarakat.
2)   Prinsip etis yang universal
Pada tahap ini perilaku manusia didasarkan pada prinsip-prinsip universal.

E.     Kesulitan dalam Pembelajaran Afektif
Pertama, selama ini proses pendidikan sesuai dengan kurikulum yang berlaku cenderung diarahkan untuk pembentukan intelektual.dengan demikian keberhasilan proses pendidikan dan proses pembelajaran di sekolah ditentukan oleh criteria kemampuan intelektual.
Kedua, sulitnya melakukan control karena banyaknya factor yang dapat mempengaruhi perkembangan sikap seseorang.
Ketiga,keberhasilan pembentukan sikap tidak bisa dievaluasi dengan segera. Berbeda dengan keberhasilan pembentukan kognisi dan aspek ketrampilan yang hasilnya dapat diketahui setelah proses pembelajaran berakhir.
Keempat,pengaruh kemajuan teknologi,khususnya teknologi informasi yang menyuguhkan aneka pilihan program acara,berdampak pada pembentukan karakter anak.
Keberhasilan pembentukan sikap tidak bisa di evaluasi dengan segera. Berdeda dengan aspek kognitif dan aspek keterampilan yang hasilnya dapat diketahui setelah proses pembelajaran berakhir, keberhasilan dari pembentukan sikap dapat dilihat pada rentang waktu yang cukup panjang. Hal ini disebabkan sikap berhubungan dengan internalisasi nilai yang memerlukan proses lama.
Pengaruh kemajuan teknologi, berdampak pada pembentukan karakter anak, tidak bisa di pungkiri program-program TV yang menayangkan acara produksi luar negri yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda, maka dari itu perlahan tapi pasti budaya asing yang belum cocok dengan budaya local menerobos dalam setiap ruang kehidupan.





PENUTUP
Kesimpulan
Banyak yang beranggapan bahwa pembelajaran afektif bukan untuk diajarkan, seperti pelajaran Biologi, Fisika ataupun Matematika. Pembelajaran afektif merupakan pembelajaran bagaimana sikap itu terbentuk setelah siswa memperoleh pembelajaran, oleh karena itu yang pas untuk afektif bukanlah pengajaran melainkan pendidikan. Afektif berhubungan sekali dengan nilai (Value) yang sulit diukur karena menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam. Dalam batas tertentu afektif dapat muncul dalam kejadian Behavioral, akan tetapi penilaian untuk sampai pada kesimpulan yang dapat di pertanggungjawabkan membutuhkan ketelitian dan observasi yang terus menerus dan hal ini tidak mudah dilakukan, dalam proses pembelajaran di sekolah, baik secara disadari maupun tidak guru dapat menanamkan sikap tertentu kepada siswa melalui proses pembiasaan.
Yang termasuk kemampuan afektif adalah sebagai berikut :
a.       Menerima (Receiving) yaitu : kesediaan untuk memperhatikan
b.      Menanggapi (Responding), yaitu afektif berpartisipasi
c.       Menghargai (Valuing), yaitu penghargaan kepada benda, gejala, perbuatan tertentu
d.      Membentuk (Organization), yaitu : memadukan nilai yang berbeda
e.       Berpribadi (Characterization by Value of value complex), yaitu : Mempunyai sistem nilai yang mengendalikan perbuatan untuk menumbuhkan gaya hidup yang mantap





DAFTAR PUSTAKA
Joni T. Rakaa (1980) Strategi Belajar Mengajar, Jakarta : P3G.
Wina Sanjaya (2008) Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta : Kencana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar